JAKARTA - Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PKS Nasir Djamil menyatakan ketegasannya prosedur tetap (Protap) tembak ditempat harus ditinjau ulang. Hal itu terkait adanya peristiwa penembakan terhadap mahasiswa Universitas Bung Karno (UBK) yang melakukan aksi demontrasi, 20 Oktober lalu di Jakarta.
”Polisi kan sudah tahu kalau akan ada demo. Harusnya bukan peluru tajam yang dipersiapkan. Tapi penyemprot air (water canon) dan gas air mata yang maju. Jadi tembak di tempat sudah berlebihan,” kata Nasir kepada INDOPOS (grup JPNN), kemarin (22/10).
Menurutnya, demonstrasi adalah bagian dari demokrasi. Dan mereka yang berdemonstrasi adalah bagian dari masyarakat Indonesia sendiri. “Apakah dilarang demontrasi di negeri ini?” tanya dia.
Untuk itu, lanjutnya, polisi harus mengevaluasi perintah tembak di tempat itu. Selain itu, pelaku penembakan harus diusut. “Saya minta Kapolri dan Kapolda Metro mengusut ini. Tembak di tempat itu kalau polisi sudah terancam jiwanya. Dan sejumlah anggota Komisi III sudah sepakat untuk berencana memanggil Kapolri,” tuturnya. Nasir heran dengan keberadaan senpi saat menangani demo di UBK.
“Di TV terlihat satuan Opdahura tidak ada. Yang terlihat polisi-polisi dengan semrawut tanpa atribut mengejar mahasiswa memakai pistol masing-masing seperti koboi-koboi mengejar bandit. Tidak seimbang antara perlawanan polisi berpistol dengan mahasiwa bermodalkan batu. Kelihatannya polisinya kurang dewasa atau memang disiapkan untuk maksud mengacaukan situasi. wallahualam,” imbuhnya.
Anggota Komisi III lainnya, RI Andi Anzhar Cakrawijaya meminta agar protap tembak di tempat diminta untuk ditinjau ulang. “Saya kecewa aksi penembakan polisi terhadap aksi mahasiswa dengan peluru tajam. Protap pencegahan aksi anarkisme yang memperbolehkan polisi menembak tanpa perintah atasan dinilai terbukti berbahaya,” katanya.
Menurut Andi, niat penetapan protap ini memang baik diawalnya, karena tak ingin kerusuhan Ampera terulang, tapi kalau tidak ada arahan maka polisi bisa lepas kendali di jalanan, bisa asal main tembak. “Kemarin ada mahasiswa yang ditembak dari jarak dekat itu bukti protap ini membahayakan dan membuat polisi hilang kendali. Untuk itu, protap tersebut harus ditinjau ulang untuk sempurnakan terlebih dulu sebelum diterapkan,” tegas politisi PAN ini.
Saat demonstrasi memperingati satu tahun pemerintahan SBY-Boediono pada 20 Oktober kemarin, petugas kepolisian telah menerapkan protap tersebut. Mereka menembak para demonstran sehingga menyebabkan mahasiswa UBK terkena luka tembak.
Menurut Andi, Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Sutarman mengatakan pihaknya sama sekali tidak memerintahkan penembakan terhadap para demonstran. “Artinya petugas polisi yang melakukan penembakan, telah menerapkan protap baru tersebut,” kata Andi.
Sebagaimana diberitakan, Kepolisian memberlakukan protap Nomor 1/X/2010 tentang Penanggulangan Tindakan Anarkis terhadap pendemo. Dalam Protap tersebut, anggota polisi dimungkinkan melakukan penembakan tanpa harus melapor atasan terlebih dulu.
Namun, desakan agar ptotap ditinjau ulang ternyata mendapat penolakan dari anggota Komisi III lainnya, Saan Mustopa. Menurut politisi Partai Demokrat ini, yang salah di dalam peristiwa UBK itu adalah oknum polisinya. “Yang saya tahu itu tidak ada instruksi dari komandanya. Jadi itu bergerak sendiri-sendiri. Yang disalahkan adalah personilnya, bukan protapnya,” ucapnya.
Saan menyatakan protap memang sengaja dibuat untuk mengendalikan situasi yang sudah tidak kondusif dan mengancam keselamatan personil kepolisian. “Namun, sekali lagi, protap itu tidak bisa diartikan semua personil kepolisian bisa berjalan sendiri-sendiri tanpa ada perintah dari komandannya. Kapolri setahu saya juga sudah meminta maaf, dan menyatakan akan mengusut pelaku penembakan yang dinilai menyalahi aturan,” terangnya. (dil)
0 comments:
Post a Comment