Saturday, August 14, 2010

Melatih Amanah di Bulan Barokah

Ketika pribadi-pribadi amanah telah tampil di permukaan, maka siapapun dia, akan dicintai oleh segenap orang
Hidayatullah.com--Al-Amin (orang yang amanah/terpercaya). Itulah gelar pertama yang disandang oleh Rosulullah. Yang menakjubkan, untuk pertama kali, gelar tersebut bukan berasal dari kaum muslimin, karena, saat itu, Rosulullah belum ’dilantik’ oleh Allah sebagai utusan-Nya. Sebagaimana yang tertera di dalam buku-buku sirah, dijelaskan bahwa, jauh sebelum Rosulullah dinobatkan sebagai Nabi dan Rosul yang akan mengeluarkan manusia dari kesesatan hidup, Nabi Muhammad telah dipercaya oleh kaum Quraisy, sebagai sosok yang amanah. Tak ayal, karena kepercayaan tersebut, tidak sedikit dari mereka yang menitipkan barang-barang berharga pada beliau.
Ketika turun wahyu pertama, sebagai titik awal dari kenabiaan, juga tidak serta-merta kepercayaan tersebut sirna, bak debu di atas batu yang terkena guyuran hujan. Hal tersebut terbukti, ketika beliau hendak melakukan hijroh ke Madinah. Beliau berpesan kepada Ali, agar mengembalikan seluruh barang-barang orang-orang Quraisy, yang masih berada di tangan beliau.


Itulah salah satu pesona Muhammad yang menjadi daya tarik orang-orang Arab pada saat itu, untuk mempercayakan urusan-urusan mereka kepadanya, hatta yang menyangkut permasalahan rumit yang nyaris menyulut perang saudara antar suku Quraisy. Peristiwa peletakan hajar aswad pada renovasi Ka’bah adalah bukti sejarah akan hal tersebut.
Selain itu,  amanah, juga telah mendatangkan rizki ’nomplok’ bagi pemuda yatim ini dengan tanpa diduga-duga. Khadijah, yang sejatinya adalah majikan beliau, tidak malu-malu untuk menyatakan ketertarikannya kepada Muhammad. Ia bahkan menawarkan diri untuk menjadi pendamping hidupnya. Padahal, sebelumnya, telah antri para bangsawan Arab mengajukan lamaran untuk mempersunting Khadijah. Akan tetapi, karena terpikat terhadap sosok Muhammad yang  amanah, beliaupun menjatuhkan pilihan pada cucu Abdul Mutholib ini.
Semua Suka
Amanah adalah satu perilaku yang diidam-idamkan oleh semua orang. Sebaliknya, khianat, merupakan perilaku yang semua orang enggan dengannya. Tak satupun orang sudi dikhianati. Amanah digemari, karena ia, apabila dilaksanakan akan mendatangkan kemaslahatan, sebaliknya khianat, justru akan membawa kepada kehancuran, atau ketimpangan keuntungan bagi segelintir orang. Sebab itu, wajarlah kalau manusia sangat medamba-dambakan sosok yang amanah, dalam segala lini kehidupan.
Seorang penjual, diharapkan amanah terhadap perniagaannya. Jangan sampai karena berhasrat untuk memperoleh keuntungan berlipat ganda, ia berkhianat terhadap para pelanggannya dengan cara mengurangi timbangan, barang cacat dibilang bagus, dan tipu daya yang lainnya.
Seorang hakim harus amanah dengan posisinya dalam memutuskan perkara. Jangan sampai, karena diberi uang ’pelicin’, keputusan-keputusan yang diambil timpang sebelah, lebih condong kepada pihak bermodal. Hasilnya, salah dan benar tidak ditentukan oleh keobjektivitasan suatu perkara, tapi lebih terhadap besarnya jumlah materi yang diterima.
Seorang pemimpin (baca pemerintah), pun juga harus demikian. Mereka harus amanah terhadap jabatan yang mereka duduki. Jangan sampai posisi tersebut justru dijadikan ajang pengerukkan harta-harta masyarakat, untuk mamperkaya diri, keluarga, ataupun kelompok sendiri.
Ketika pribadi-pribadi amanah telah tampil di permukaan, maka siapapun dia, akan dicintai oleh segenap orang. Seorang pedagang akan dicintai oleh para pelanggannya, Seorang hakim akan dielu-elukan kebijaksanaannya, begitu pula pemerintah yang amanah, akan disayangi, dicintai oleh masyarakat yang dipimpinnya. Apa yang terjadi pada diri Rosulullah adalah bukti nyata akan hal tersebut. Sebaliknya, pengkhiatan seseorang akan melahirkan kebencian mendalam pada diri orang yang merasa telah dikhianati. Tidak hanya itu, kehancuran masa depan, pun telah menanti, sebagaimana yang dialami oleh orang-orang Yahudi (Bani Quraizah) yang telah melakukan penghianatan perjanjian terhadap kaum muslimin, yang sebelumnya telah mereka sepakati.
Perintah untuk berlaku amanah, setidaknya tergambar secara gamblang pada salah satu firman Allah dalam surat Al-Anfal 27. ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.”
Barang Langka
Bila kita amati, apa yang terjadi di negeri kita saat ini, sepertinya perilaku amanah telah menjelma menjadi  barang yang sangat sukar untuk ditemukan.
Yang lebih mencoreng muka, mayoritas penduduk bangsa ini, adalah beragama Islam, yang seharusnya menjadi pelopor utama dalam mempraktekkannya dalam kehidupan. Tapi, apa dikata, negeri ini sudah kadung dicap sebagai negeri terkoruptor, dikarenakan minimnya sifat amanah yang dimiliki oleh segenap masyarakat, mulai dari pejabat, hingga masyarakat biasa.
Buah yang dihasilkan, Indonesia jauh dari kemakmuran, sekalipun potensi alamnya sangat mendukung. Anak jalanan dan pengemis berkeliaran, yang putus sekolah tak terhitung jumlahnya. Perampokkan, pembegalan, penjarahan, kerap terjadi, yang menyebabkan keresahan masyarakat. Demonstrasi terjadi di sana-sini, makelar kasus, menyuapan, korupsi, seolah-seolah telah menjadi tradisi, sehingga, ketika kita sebut ”Indonesia” persepsi yang muncul adalah negara korupsi. Inilah realitas sosial Indonesia, yang hingga saat ini masih berkecamuk.
Puasa dan Perilaku Amanah
Saat ini, kita sedang berada di bulan yang penuh barakah. Disebut barakah, karena di dalamnya terdapat kebaikkan-kebaikkan. Dan ini selaras dengan definisi yang ditetapkan oleh para ulamak, bahwa barakah itu berarti, ”ziadatul khiairi” (bertambahnya kebaikkan).
Rosulullah bersabda, ”Telah datang padamu Bulan Ramadhan, penghulu segala bulan. Maka sambutlah kedatangannya. Telah datang bulan syiam membawa segala kebarakahan, maka alangkah mulianya tamu yang datang itu.”  (HR, At-Thabrani)
Dan salah satu kebaikkan yang terkandung dalam bulan Ramadhan yaitu, ia melatih kita untuk berperilaku jujur alias amanah.
Puasa adalah jenis ibadah yang berbeda dengan ibadah-ibadah yang lain. Ia merupakan ibadah sirriyah, yang artinya tersembunyi. Tersembunyi dari penglihatan orang di luar diri kita. Berbeda dengan ibadah sholat, haji, zakat, yang wujud dari pelaksanaannya nampak, bisa disaksikan oleh siapa saja. Namun, khusus puasa, hanya kita dan Allah lah yang mengetahuinya. Orang lain tidak akan tahu-menahu apakah kita sedang berpuasa pada hari itu atau tidak, terkecuali, kalau kita nampakkan diri pada khalayak umum, bahwa kita memang sedang tidak berpuasa pada hari itu.
Dan di sinilah letak latihan amanah itu. Amanah kita sebagai seorang mukmin akan teruji dengan ibadah puasa.  Kita bisa mengelabuhi semua orang dengan mengatakan, ”aku sedang berpuasa”, sekalipun kita telah berbuka. Dan orang lain tidak mempersoalkannya. Keamanahan kita tersebut, sebanding lurus dengan tingginya kadar keimanan yang yang kita miliki . Kita tidak akan berkhianat kepada Allah, manakala iman kita kuat. Begitu pula dalam kehidupan bermasyarakat.
Perilaku khianat yang saat ini telah menjadi tren hidup sebagian masyarakat, tidak lain karena rendahnya kadar keimanan yang mereka miliki. Tidak mungkin akan terjadi pengkhianatan, manakala keimanan itu masih ada, sebab Rosulullah pernah menjelaskan dalam salah satu sabdanya, bahwa, tidak akan mencuri seorang pencuri ketika mencuri dia beriman. Dan tidak akan berzina seorang penzina, ketika berzina dia dalam keimanannya.
Walhasil, untuk memangkas budaya khianat yang telanjur mewabah, dan untuk menumbuhkan perilaku amanah, kita harus mempertebal keimanan kita kepada Allah. Semoga, ibadah puasa yang saat ini tengah kita laksanakan, yang menjadi ajang melatih amanah, benar-benar menjadi titik balik itu semua, sehingga terwujudlah cita-cita kita menjadikan Indonesia sebagai baldatun thoibatun wa rafful ghofur. Amin..amin yaa rabbal ’aalamin. Wallahu ’alam bis-shawab. [Robin Sah/hidayatullah.com]

0 comments:

Post a Comment

-
-

Powered By Blogger