Hakekat kaya adalah yang mampu memberi, bukan mereka yang gemar menumpuk harta. Itulah karakter orang kaya
DI Madura ada sebuah desa yang penduduknya bekerja sebagai peminta-minta. Yang cukup mengagetkan, rumah-rumah mereka sangat mewah dan berkelas.
Fenomena mental peminta-minta, juga berkembang ke berbagai aspek. Di zaman sekarang, kadar dan jenisnya sudah mulai ada modifikasi dan perubahan.
Tidak terlalu sulit bagi kita untuk menjelaskan kondisi yang terjadi di lapangan. Banyak pemandangan, bagaimana masyarakat berduyun-duyun dan dan saling berebut untuk memperoleh bagian masing-masing, walaupun harus saling adu sikut. Bahkan, terkadang nyawa pun dijadikan taruhannya hanya untuk sebuah kupon.
Peristiwa yang menewaskan beberapa warga yang berdesak-desakan untuk mendapatkan uang sedekah salah satu dermawan di Jawa Timur, pada bulan puasa beberapa tahun lalu, adalah bukti nyata akan hal ini. Untuk memperoleh uang kurang lebih Rp. 30.000, mereka rela berdesak-desakkan, yang pada akhirnya nyawa pun hilang tak terelakkan.
Di akui atau tidak, budaya meminta-minta memang tengah menjangkiti sebagian dari kita. Predikat sebagai warga miskin sepertinya suatu kebanggaan yang diperebutkan, karena akan mendapat bantuan. Tidak sedikit orang akan mencak-mencak ketika dirinya tidak terdaftar sebagai gakin sebagai syarat untuk mendapatkan BLT, atau lain sebagainya.
Maka tidak mengherankan, ketika kita bepergian, terdapat di sana-sini pengamen, pengemis berseliweran. Belum selesai yang satu, sudah antri yang lain. Bahkan, di salah satu daerah di bumi pertiwi ini, terdapat satu desa yang menjadikan mengemis ataupun mengamen sebagai profesi hidup. Padahal, kalau kita perhatikan fisik dan anggota tubuh mereka, terlihat masih kekar dan sehat, yang bisa dimanfaatkan untuk mengais rezeki dengan cara yang jauh lebih mulia, daripada meminta-minta. Dan yang membuat hati lebih sesak lagi, tidak semua mereka dalam keadaan futur sehingga mereka harus meminta-minta. Hal ini belum termasuk tingkah laku para pejabat yang tak jarang juga ’berteriak-teriak’ untuk menuntut kenaikkan gaji, perlengkapan fasilitas, dan seterusnya.
Potret buram kondisi sosial ini, tentu sangat memprihatinkan. Sebab, bagaimana mungkin, Indonesia yang termasyur dengan negeri yang syarat akan kesuburan tanahnya, penduduknya yang mayoritas muslim, justru ’bangga’ dengan menggantungkan hidup pada orang lain. Dan tentu saja, gaya hidup macam ini sangat bertentangan dengan ajaran yang telah disampaikan oleh Rasulullah. Islam mengajarkan konsep memberi, bukan meminta. ”Tangan di atas itu lebih baik daripada tangan di bawah,” demikianlah sabda Rasulullah, yang artinya kita diperintahkan untuk membumikan konsep memberi, bukan meminta-minta.
Ancaman Allah
Dalam hal penciptaan makhluk, Allah telah menjadikan mereka dengan berpasang-pasangan. Ada malam dan siang, pria dan wanita, jantan dan betina, dan begitu seterusnya, termasuk adanya si kaya dan si miskin. Terhadap mereka yang benar-benar terpuruk masalah ekonomi yang memaksa mereka harus meminta-minta, maka Islam memberi lampu hijau bagi mereka, dengan catatan tidak menjadikannya sebagai profesi hidup.
Diriwayatkan dari Sahabat Qabishah bin Mukhariq al-Hilali Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai Qabiishah! Sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal, kecuali bagi salah satu dari tiga orang: (1) seseorang yang menanggung hutang orang lain, ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian berhenti, (2) seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup, dan (3) seseorang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada tiga orang yang berakal dari kaumnya mengatakan, ‘Si fulan telah ditimpa kesengsaraan hidup,’ ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup. Meminta-minta selain untuk ketiga hal itu, wahai Qabishah! Adalah haram, dan orang yang memakannya adalah memakan yang haram.”
Jelas sudah bahwa pada dasarnya hukum meminta-minta tanpa landasan udzur yang telah dijelaskan di atas, merupakan perbuatan yang dilarang. Meskipun demikian, jangan sampai, karena alasan kita masuk dalam salah satu dari ketiga kategori tersebut, dengan seenaknya kita jadikan sebagai hujjah untuk melegalkan meminta-minta sebagai profesi hidup. Ingat, bagaimanapun alasannya, hakekat meminta-minta adalah perilaku yang akan mencederai kehormatan diri. Sabda Rasulullah yang diriwayatkan dari Samurah bin Jundub Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Minta-minta itu merupakan cakaran, yang seseorang mencakar wajahnya dengannya, kecuali jika seseorang meminta kepada penguasa, atau atas suatu hal atau perkara yang sangat perlu.” (HR. Tirmidzi)
Selanjutnya, terhadap mereka yang menjadikan meminta-minta sebagai wasilah untuk memperkaya diri, bukan karena kebutuhan yang mendesak, maka Allah telah mengingatkan dengan peringatan yang tegas, melalui perantara lisan Rasulnya, “Siapa saja di antara kalian senantiasa meminta-minta, nanti ia akan datang pada hari Kiamat dalam keadaan tidak ada sekerat daging pun di wajahnya.” (H.R. Bukhari, Muslim)
Dalam sabdanya yang lain yang diriwayatkan dari Hubsyi bin Junaadah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa meminta-minta kepada orang lain tanpa adanya kebutuhan, maka seolah-olah ia memakan bara api; sehingga terserah padanya apakah cukup dengan sedikit saja atau akan memperbanyaknya.” (HR. Muslim).
Berusaha dan Berkarakter Kaya
Dalam sebuah hadits yang diriwatkan oleh Abdullah bin Zubair dijelaskan bahwa mencari kayu di hutan, kemudian menjualnya untuk memenuhi kebutuhan hidup, itu merupakan perkara yang jauh lebih mulia daripada harus meminta-minta. Hadits tersebut mengajarkan agar kita tidak mudah untuk menggantungkan hidup kepada orang lain. Tapi sejatinya, pola macam ini belumlah cukup untuk mencegah diri dari meminta-minta, dan itu bisa kita saksikan di tengah-tengah masyarakat kita saat ini, sebagaimana yang telah penulis jelaskan di atas.
Memiliki karakter orang kaya, juga merupakan suatu yang sangat penting dalam menanggulangi kasus ini. Orang kaya dalam kontek ini, bukanlah mereka yang memiliki segudang emas dua puluh empat karat. Sekalipun mereka memiliki itu semua, tetapi ketika kekikiran menyelimuti diri, dahaga akan harta semakin membahana, maka sesungguhnya mereka adalah orang-orang miskin. Hakikat orang kaya adalah orang yang mampu memberi, bukan mereka yang gemar menumpuk dan menumpuk harta, ”Tidak disebut kaya karena banyak hartanya, tetapi yang disebut kaya (yang sebenarnya) adalah kekayaan jiwa.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Karakter macam inilah yang dibangun oleh Rasulullah kepada para sahabatnya, sehingga tidak mudah bagi mereka untuk menengadahkan tangan, meminta-meminta bantuan orang lain, sekalipun mereka dalam kesusahan. Abdurrahman bin Auf adalah salah satu contohnya. Memang, beliau adalah termasuk salah satu sahabat yang kaya raya. Namun perlu diperhatikan, ketika beliau berhijrah ke Madinah, kekayaan yang dimilikinya ditinggal di Mekkah. Setibanya beliau di Madinah, kemudian Rasulullah mempersaudarakannya dengan salah satu sahabat Anshor, Sa’ad bin Ar-Rabi’. Ketika itulah terlihat betapa Abdurrahman termasuk tipe orang yang tidak ingin merepotkan orang lain dengan cara menerima segala apa yang ditawarkan kepadanya.
Saat itu, sahabat Anshor tersebut memberinya tawaran agar ia (Abdurrahman) sudi menerima sebagian harta yang ia miliki, termasuk salah satu istrinya, apabila Abdurrahman berkenan. Namun apa yang dilakukan oleh sahabat mulia ini, beliau menolak dengan halus, dan meminta agar ditunjukkan pasar. Dengan kemahirannya dalam berniaga, akhirnya beliau mampu memperoleh apa yang pernah ia rasakan sebelum berhijrah, yaitu harta yang berlimpah ruah. Perilaku yang tidak jauh berbeda, juga ditunjukkan oleh para sahabat muhajirin lainnya, ketika memperoleh tawaran bantuan dari saudara-saudara mereka, sahabat-sahabat Anshar.
Karenanya, menanamkan konsep bahwa ”tangan di atas itu lebih baik daripada tangan di bawah”, setelah memiliki jiwa wirausaha, merupakan sesuatu yang sangat urgen dalam meninggalkan kebiasaan meminta-minta. Wallahu ’Alam Bis-Shawab. [Robin Sah/hidayatullah.com]
DI Madura ada sebuah desa yang penduduknya bekerja sebagai peminta-minta. Yang cukup mengagetkan, rumah-rumah mereka sangat mewah dan berkelas.
Fenomena mental peminta-minta, juga berkembang ke berbagai aspek. Di zaman sekarang, kadar dan jenisnya sudah mulai ada modifikasi dan perubahan.
Tidak terlalu sulit bagi kita untuk menjelaskan kondisi yang terjadi di lapangan. Banyak pemandangan, bagaimana masyarakat berduyun-duyun dan dan saling berebut untuk memperoleh bagian masing-masing, walaupun harus saling adu sikut. Bahkan, terkadang nyawa pun dijadikan taruhannya hanya untuk sebuah kupon.
Peristiwa yang menewaskan beberapa warga yang berdesak-desakan untuk mendapatkan uang sedekah salah satu dermawan di Jawa Timur, pada bulan puasa beberapa tahun lalu, adalah bukti nyata akan hal ini. Untuk memperoleh uang kurang lebih Rp. 30.000, mereka rela berdesak-desakkan, yang pada akhirnya nyawa pun hilang tak terelakkan.
Di akui atau tidak, budaya meminta-minta memang tengah menjangkiti sebagian dari kita. Predikat sebagai warga miskin sepertinya suatu kebanggaan yang diperebutkan, karena akan mendapat bantuan. Tidak sedikit orang akan mencak-mencak ketika dirinya tidak terdaftar sebagai gakin sebagai syarat untuk mendapatkan BLT, atau lain sebagainya.
Maka tidak mengherankan, ketika kita bepergian, terdapat di sana-sini pengamen, pengemis berseliweran. Belum selesai yang satu, sudah antri yang lain. Bahkan, di salah satu daerah di bumi pertiwi ini, terdapat satu desa yang menjadikan mengemis ataupun mengamen sebagai profesi hidup. Padahal, kalau kita perhatikan fisik dan anggota tubuh mereka, terlihat masih kekar dan sehat, yang bisa dimanfaatkan untuk mengais rezeki dengan cara yang jauh lebih mulia, daripada meminta-minta. Dan yang membuat hati lebih sesak lagi, tidak semua mereka dalam keadaan futur sehingga mereka harus meminta-minta. Hal ini belum termasuk tingkah laku para pejabat yang tak jarang juga ’berteriak-teriak’ untuk menuntut kenaikkan gaji, perlengkapan fasilitas, dan seterusnya.
Potret buram kondisi sosial ini, tentu sangat memprihatinkan. Sebab, bagaimana mungkin, Indonesia yang termasyur dengan negeri yang syarat akan kesuburan tanahnya, penduduknya yang mayoritas muslim, justru ’bangga’ dengan menggantungkan hidup pada orang lain. Dan tentu saja, gaya hidup macam ini sangat bertentangan dengan ajaran yang telah disampaikan oleh Rasulullah. Islam mengajarkan konsep memberi, bukan meminta. ”Tangan di atas itu lebih baik daripada tangan di bawah,” demikianlah sabda Rasulullah, yang artinya kita diperintahkan untuk membumikan konsep memberi, bukan meminta-minta.
Ancaman Allah
Dalam hal penciptaan makhluk, Allah telah menjadikan mereka dengan berpasang-pasangan. Ada malam dan siang, pria dan wanita, jantan dan betina, dan begitu seterusnya, termasuk adanya si kaya dan si miskin. Terhadap mereka yang benar-benar terpuruk masalah ekonomi yang memaksa mereka harus meminta-minta, maka Islam memberi lampu hijau bagi mereka, dengan catatan tidak menjadikannya sebagai profesi hidup.
Diriwayatkan dari Sahabat Qabishah bin Mukhariq al-Hilali Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai Qabiishah! Sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal, kecuali bagi salah satu dari tiga orang: (1) seseorang yang menanggung hutang orang lain, ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian berhenti, (2) seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup, dan (3) seseorang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada tiga orang yang berakal dari kaumnya mengatakan, ‘Si fulan telah ditimpa kesengsaraan hidup,’ ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup. Meminta-minta selain untuk ketiga hal itu, wahai Qabishah! Adalah haram, dan orang yang memakannya adalah memakan yang haram.”
Jelas sudah bahwa pada dasarnya hukum meminta-minta tanpa landasan udzur yang telah dijelaskan di atas, merupakan perbuatan yang dilarang. Meskipun demikian, jangan sampai, karena alasan kita masuk dalam salah satu dari ketiga kategori tersebut, dengan seenaknya kita jadikan sebagai hujjah untuk melegalkan meminta-minta sebagai profesi hidup. Ingat, bagaimanapun alasannya, hakekat meminta-minta adalah perilaku yang akan mencederai kehormatan diri. Sabda Rasulullah yang diriwayatkan dari Samurah bin Jundub Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Minta-minta itu merupakan cakaran, yang seseorang mencakar wajahnya dengannya, kecuali jika seseorang meminta kepada penguasa, atau atas suatu hal atau perkara yang sangat perlu.” (HR. Tirmidzi)
Selanjutnya, terhadap mereka yang menjadikan meminta-minta sebagai wasilah untuk memperkaya diri, bukan karena kebutuhan yang mendesak, maka Allah telah mengingatkan dengan peringatan yang tegas, melalui perantara lisan Rasulnya, “Siapa saja di antara kalian senantiasa meminta-minta, nanti ia akan datang pada hari Kiamat dalam keadaan tidak ada sekerat daging pun di wajahnya.” (H.R. Bukhari, Muslim)
Dalam sabdanya yang lain yang diriwayatkan dari Hubsyi bin Junaadah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa meminta-minta kepada orang lain tanpa adanya kebutuhan, maka seolah-olah ia memakan bara api; sehingga terserah padanya apakah cukup dengan sedikit saja atau akan memperbanyaknya.” (HR. Muslim).
Berusaha dan Berkarakter Kaya
Dalam sebuah hadits yang diriwatkan oleh Abdullah bin Zubair dijelaskan bahwa mencari kayu di hutan, kemudian menjualnya untuk memenuhi kebutuhan hidup, itu merupakan perkara yang jauh lebih mulia daripada harus meminta-minta. Hadits tersebut mengajarkan agar kita tidak mudah untuk menggantungkan hidup kepada orang lain. Tapi sejatinya, pola macam ini belumlah cukup untuk mencegah diri dari meminta-minta, dan itu bisa kita saksikan di tengah-tengah masyarakat kita saat ini, sebagaimana yang telah penulis jelaskan di atas.
Memiliki karakter orang kaya, juga merupakan suatu yang sangat penting dalam menanggulangi kasus ini. Orang kaya dalam kontek ini, bukanlah mereka yang memiliki segudang emas dua puluh empat karat. Sekalipun mereka memiliki itu semua, tetapi ketika kekikiran menyelimuti diri, dahaga akan harta semakin membahana, maka sesungguhnya mereka adalah orang-orang miskin. Hakikat orang kaya adalah orang yang mampu memberi, bukan mereka yang gemar menumpuk dan menumpuk harta, ”Tidak disebut kaya karena banyak hartanya, tetapi yang disebut kaya (yang sebenarnya) adalah kekayaan jiwa.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Karakter macam inilah yang dibangun oleh Rasulullah kepada para sahabatnya, sehingga tidak mudah bagi mereka untuk menengadahkan tangan, meminta-meminta bantuan orang lain, sekalipun mereka dalam kesusahan. Abdurrahman bin Auf adalah salah satu contohnya. Memang, beliau adalah termasuk salah satu sahabat yang kaya raya. Namun perlu diperhatikan, ketika beliau berhijrah ke Madinah, kekayaan yang dimilikinya ditinggal di Mekkah. Setibanya beliau di Madinah, kemudian Rasulullah mempersaudarakannya dengan salah satu sahabat Anshor, Sa’ad bin Ar-Rabi’. Ketika itulah terlihat betapa Abdurrahman termasuk tipe orang yang tidak ingin merepotkan orang lain dengan cara menerima segala apa yang ditawarkan kepadanya.
Saat itu, sahabat Anshor tersebut memberinya tawaran agar ia (Abdurrahman) sudi menerima sebagian harta yang ia miliki, termasuk salah satu istrinya, apabila Abdurrahman berkenan. Namun apa yang dilakukan oleh sahabat mulia ini, beliau menolak dengan halus, dan meminta agar ditunjukkan pasar. Dengan kemahirannya dalam berniaga, akhirnya beliau mampu memperoleh apa yang pernah ia rasakan sebelum berhijrah, yaitu harta yang berlimpah ruah. Perilaku yang tidak jauh berbeda, juga ditunjukkan oleh para sahabat muhajirin lainnya, ketika memperoleh tawaran bantuan dari saudara-saudara mereka, sahabat-sahabat Anshar.
Karenanya, menanamkan konsep bahwa ”tangan di atas itu lebih baik daripada tangan di bawah”, setelah memiliki jiwa wirausaha, merupakan sesuatu yang sangat urgen dalam meninggalkan kebiasaan meminta-minta. Wallahu ’Alam Bis-Shawab. [Robin Sah/hidayatullah.com]
0 comments:
Post a Comment