Thursday, April 15, 2010

Pemilu untuk Memberi Kesaksian

Judul Buku: Dakwah Politik antara Pragmatisme dan Profesionalisme
Penulis: Khalid Ahmad Asy-Syantut

Seyogianya pemilih muslim tahu bahwa ketika ia memberikan suaranya kepada seorang kandidat, maka sesungguhnya ia tengah memberi kesaksian bahwa kandidat tersebut kapabel untuk menjalankan tugas yang akan diembannya, sebagaimana ia memberi kesaksian bahwa ia adalah kandidat terbaik dari daerah pemilihannya. Sudah barang tentu, hal ini menuntut pemilih untuk mengetahui hal-hal berikut,
1. Tugas yang akan diemban kandidat. Apabila pemilu untuk memilih anggota parlemen, maka pemilih harus tahu tugas dan kewajiban anggota parlemen, apa perannya di tengah masyarakat, dan apa urgensi peran ini. Pada saat itu, pemilih muslim dapat membandingkan sifat-sifat kandidat, kewajiban-kewajiban, dan mengetahui siapa di antara mereka yang memenuhi sifat-sifat yang harus ada untuk menjalankan tugas ini. Dan pada saat itulah kesaksiannya menjadi benar dan bermakna.


2. Karakter orang-orang yang dikandidatkan untuk memikul tugas ini, agar ia bisa membandingkan di antara mereka dan mengetahui siapa yang terbaik di antara mereka dan lebih diridhai Allah dan Rasul-Nya, lalu ia memilihnya dan memberi kesaksian bahwa ia adalah yang paling pantas menerima tugas ini. Pada saat itulah kesaksiannya benar, sejalan dengan syari‘at, dan memiliki makna.
Dr. Shalah ash-Shawi (hlm. 175) berkata, “Cara memilih yang demikian itu mengandung unsur tazkiyah (promosi) dan kesaksian, bahwa kandidat tersebut telah melengkapi sifat kuat dan amanah yang diperlukan untuk menjalankan pekerjaan ini, sehingga ia adalah kandidat yang paling diridhai Allah dan Rasul-Nya serta paling lurus dalam menjalankan tugas dan pekerjaan wakil rakyat. Karena itu, ia lebih pantas dipilih daripada kandidat lain, sehingga pemilih memberikan suara kepadanya yang memungkinkannya untuk mencapai posisi wakil rakyat, sehingga i abisa menjalankan amanah ini dengan sempurna.
Jelas bahwa perkara kesaksian merupakan perkara yang penting, karena Nabi SAW mengecam keras kesaksian palsu. Beliau bersabda, “Kesaksian palsu itu sebanding dengan menyekutukan Allah.” Kemudian beliau membaca firman Allah, “Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.” (al-Hajj [22]: 30)
Nabi SAW juga menganggap kesaksian palsu termasuk dosa yang paling besar. Beliau bersabda, “Maukah kalian kuberitahu tentang dosa yang paling besar.” Beliau bersabda demikian tiga kali. “Yaitu menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orangtua, dan kesaksian palsu, atau perkataan palsu.” Tadinya Rasulullah SAW bersandar, kemudian beliau duduk dan selalu mengulang-ulanginya hingga kami (para sahabat) berkata, “Andai saja beliau diam.”
Akar makna zur (palsu) menurut Abu Ishaq at-Tsa’alibi dan selainnya adalah memperindah sesuatu secara berbeda dari sifatnya hingga memberi kesan kepada yang mendengar atau melihatnya bahwa ia tidak demikian. Jadi, zur adalah mengkamuflasekan kebatilan dengan hal-hal yang mengesankan bahwa ia benar.
Jadi, pemilu itu bisa jadi kesaksian yang benar atau kesaksian yang palsu. Apabila syarat-syarat pemilih telah terpenuhi dan ia memberikan kesaksian sebagaimana yang diridhai Allah dan Rasul-Nya, maka ini adalah kesaksian yang benar dimana pemilihnya diberi pahala, Insya’allah. Dan ketika pemilih memberikan suaranya kepada kandidat yang paling diridhai Allah dan Rasul-Nya, maka pemilih ini memperoleh pahala dari setiap perbuatan baik yang dilakukan kandidat tersebut setelah ia berhasil menjadi anggota parlemen..Tetapi jika kesaksiannya tidak benar dan ia memberikan suaranya kepada kandidat yang tidak kapabel, padahal ada di antara para kandidat itu yang lebih diridhai Allah dan Rasul-Nya daripada kandidat yang dipilihnya, maka pemilihan ini bermuatan kesaksian palsu, Na’udzubillah. Sebelumnya telah dijelaskan ancaman keras terhadap kesaksian palsu, dan bahwa ia sebanding dengan menyekutukan Allah.
Bertanya kepada Ulama
Apabila pemilih tidak bisa menyampaikan kesaksian secara benar, seperti ia tidak mengenal para kandidat, maka ia harus bertanya kepada ulama yang keagamaan dan keilmuannya (syari‘at dan politik) dapat dipercaya. Hal itu agar ia mengetahui siapa yang paling diridhai Allah dan Rasul-Nya, sehingga ia bisa memberikan suaranya kepada kandidat tersebut. Sama persis ketika ia tidak memahami perkasa shalat, puasa atau zakat, maka ia merujuk kepada ulama untuk bertanya supaya ia bisa menjalankan ibadahnya dengan cara yang benar. Hal itu untuk membela Islam di kancah pemilu dan memberikan suara kepada yang berhak. Dengan kata lain, menunaikan amanah kepada yang berhak itu juga merupakan ibadah. Seorang muslim yang peduli dengan agama dan akhirnya dituntut untuk teliti dalam menunaikan amanah ini dan menyerahkannya kepada yang berhak menerimanya.
Apabila tidak ditemukan orang-orang tepercaya yang mengetahui kondisi para kandidat, maka pada saat itu ia menahan diri dari memberi kesaksian, karena ia bukan orang yang berhak memberi kesaksian. Ia biarkan saja kertas suaranya dalam keadaan kosong dan tidak memberikan kesaksian palsu.
Kesaksian Menurut Fikih
Syahadah (kesaksian) adalah mashdar (kata jadian) dari kata syahida-yasyhadu (menyaksikan). Al-Jauhari mengatakan bahwa kesaksian berarti berita yang pasti. Kata musyahadah berarti melihat dengan mata, diambil dari kata syuhud yang berarti hadir, karena orang yang menyaksikan itu hadir pada sesuatu yang tidak dihadiri orang lain. (Fathul Bari, kitab Kesaksian)
Kata syahadah terambil dari kata musyahadah, karena saksi itu mengabarkan apa yang dilihatnya. Kesaksian berarti mengabarkan apa yang diketahui dengan kata ‘aku bersaksi’. (ar-Raudh al-Murabba’, 3/415)
“Seseorang tidak boleh bersaksi kecuali tentang apa yang diketahuinya, berdasarkan perkataan Ibnu ‘Abbas, ‘Nabi SAW ditanya tentang kesaksian, lalu beliau menjawab, ‘Kamu melihat matahari?’ Orang yang bertanya itu menjawab, ‘Ya.’ Nabi SAW bersabda, ‘Untuk hal seperti itulah hendaknya kalian bersaksi. Kalau tidak, maka hendaknya kalian tinggalkan.” Hadits ini diriwayatkan al-Khallal dalam kitab al-Jami‘.
Pengetahuan itu bisa dengan melihat atau mendengar dari obyek yang dipersaksikan, seperti pembebasan budak, cerai dan akad. Orang yang mendengarnya wajib bersaksi tentang apa yang didengarnya. Syarat-syarat diterimanya kesaksian seseorang itu ada enam, yaitu baligh, berakal, bisa berbicara, muslim, mampu merekam kejadian dan adil. Kesaksian orang bisu tidak diterima karena kesaksian itu harus pasti, kecuali jika ia menyampaikan kesaksian secara tertulis. Dan kesaksian dari orang kafir tidak bisa diterima meskipun terhadap sesama orang kafir, kecuali perjalanan dimana ia memberi kesaksian mengenai wasiat seorang muslim atua kafir. Dan yang dimaksud adil di sini adalah shalih agamanya seperti melaksanakan berbagai kewajiban, menjauhi berbagai perkara haram, menjaga sifat-sifat mulia seperti dermawan, berakhlak baik, berjiwa sosial dan menjauhi hal-hal yang dapat menodai kehormatan..Kesaksian terhadap kesaksian tidak diterima. Kesaksian ini dipertimbangkan apabila kesaksian utama tidak bisa dilakukan sebab meninggal dunia, sakit, bepergian jauh, takut kepada seorang penguasa, atau sebab yang lain. Dan itu pun harus dipastikan keadilan saksi utama dan saksi cabang. Saksi cabang tidak boleh bersaksi kecuali jika saksi asli memintanya mengembang wewenang, dimana saksi utama berkata kepada saksi cabang, “Saksikanlah kesaksianku terhadap hal demikian, atau saksikanlah bahwa fulan mengakui hakku demikian,” atau semisalnya. Seandainya saksi utama tidak meminta saksi cabang untuk mengemban wewenang, maka saksi cabang tidak boleh bersaksi, karena kesaksian atas kesaksian itu mengandung perwakilan. Ia tidak boleh mewakili saksi asli kecuali dengan seijinnya, kecuali saksi cabang mendengar saksi asli memberikan kesaksian di hadapan hakim.” (ar-Raudh al-Murabba’)
Rasulullah SAW telah mengingatkan kita akan datangnya hari dimana manusia buru-buru memberi kesaksian tanpa klarifikasi. Diriwayatkan dari ‘Imran bin Hushain, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik masa adalah masaku, kemudian sesudahnya, kemudian sesudahnya.” ‘Imran berkata, “Aku tidak tahu apakah Nabi SAW mengatakan, ‘Sesudah dua masa atau tiga masa.’ Nabi SAW bersabda, ‘Sesungguhnya sesudah kalian ada suatu kaum yang berkhianat dan tidak bisa dipercaya, bersaksi tanpa diminta bersaksi, dan bernadzar tetapi tidak pernah memenuhi. Lemak tampak menonjol pada tubuh mereka.’” (HR Bukhari dalam kitab Kesaksian no. 2651) Dalam riwayat lain terdapat tambahan, “Kemudian datanglah kaum-kaum yang kesaksian salah seorang dari mereka mendahului sumpahnya, dan sumpahnya mendahului kesaksiannya.” (no. 2652)
Akar makna syahadah (kesaksian) adalah musyahadah (menyaksikan). Diriwayatkan dari Thawus, dari Ibnu ‘Abbas ra, ia berkata, “Kepada Rasulullah SAW diceritakan tentang seorang laki-laki yang memberi kesaksian, lalu beliau bersabda, ‘Kamu, wahai Ibnu ‘Abbas, janganlah kamu bersaksi kecuali atas suatu perkara yang terang bagimu seperti terangnya matahari.’ Rasulullah SAW menunjuk dengan tangannya ke arah matahari.’”
Dalam masalah hadd harus ada kesaksian, seperti dalam kasus zina harus ada empat orang saksi yang menyaksikan dengan mata kepala hubungan seksual di antara dua pelaku. Hal ini tidak terjadi kecuali bagi orang-orang yang melakukan maksiat secara terang-terangan, sebagaimana yang terjadi di bar-bar orang kafir Barat pada hari ini. Ini adalah puncak kesaksian, yaitu kesaksian secara fisik yang sempurna.
Di antara tingkatan-tingkatan kesaksian adalah sebagai berikut:
Kesaksian Pendengaran
Para ulama berbeda pendapat mengenai kasus dimana kesaksian dengan tersiarnya berita itu diterima. Menurut ulama madzhab Syafi‘i, kesaksian tersebut sah untuk kasus nasab, kelahiran, kematian, pembebasan budak, dan seterusnya hingga dua puluh kasus lebih. Pendapat dari Abu Hanifah adalah kesaksian tersebut sah untuk kasus nasab, kematian dan nikah. Penulis kitab al-Hidayah mengatakan, “Kesaksian demikian dibolehkan berdasarkan istihsan (penilaian baik). Jika tidak, maka pada dasarnya kesaksian itu harus didasari pengamatan. Dan syarat diterimanya kesaksian dengan pendengaran adalah seseorang mendengarnya dari sekumpulan orang yang dijamin tidak sepakat berbohong. Sebuah pendapat mengatakan bahwa minimal jumlahnya empat orang. Pendapat lain mengatakan cukup dua orang yang adil. Dan pendapat lain mengatakan cukup satu orang adil asalkan hati merasa mantap dengan ucapannya.” (Fathul Bari kitab Kesaksian)
Di antara kesaksian pendengaran yang dibolehkan adalah kesaksian orang buta. Syafi‘i berkata, “Kesaksian orang buta hukumnya boleh apabila ia berakal. Maksudnya adalah cerdas dan bisa mencerna perkara-perkara yang rumit berdasarkan indikasi-indikasi.”
Di antara bentuk kesaksian pendengaran adalah kesaksian atas kesaksian, sebagaimana dijelaskan dalam kitab ar-Raudh al-Murbi’. Terkadang kesaksian terhadap kesaksian dibutuhkan pada saat pemilu. Seorang pemilih berkata kepada diri sendiri, “Aku akan bersaksi (memberikan suara) untuk kandidat ini, karena aku mendengar fulan (ulama, dai, orang yang adil atau orang yang bertakwa) mengatakan kepada kami, “Saksikanlah bahwa aku bersaksi bahwa fulan orang yang adil dan kapabel untuk menjadi anggota dewan.”
Demikianlah, seorang laki-laki yang tepercaya ini memberitahu sebagian pemilih agar mereka mengenal kandidat yang sebelumnya mereka tidak kenal. Ini adalah pandangan kalangan yang memperluas pemikiran dan mengundang sejumlah besar pemilih yang tidak mengenal seluruh kandidat. Penulis tidak respek terhadap pemilihan yang diperluas ini karena di dalamnya ada peran pusat-pusat kekuatan (seperti kampanye), yang membujuk para pemilih agar memberikan suaranya tanpa didasari keyakinan yang timbul dari hati nuraninya. Pada saat itu pemilu bukan lagi kesaksian dan penyampaian amanah menurut caranya yang benar.
Memperluas basis pemilih merupakan prinsip demokrasi, bukan prinsip Islam. Karena Islam mempersempit basis syura ketika ia menjadikan pemilu sebagai penyampaian amanah dan kesaksian serta loyalitas atau disloyalitas. Dan sesungguhnya problematika berbagai harakah Islamiyah hari ini nyaris ada pada aspek ini, dimana banyak dari mereka yang mengikuti sistem demokrasi dalam pemilu, lalu ia masuk ke parlemen tanpa memasukkan alternatif yang unggul dari harakah. Sebaliknya, pusat-pusat kekuatan-lah yang mengatur harakah dan membangun parlemen sesuai keinginannya, dan sesuai dengan endapan-endapan jahiliyah yang masih tersisa padanya..
Seorang rekan yang merupakan elit pemimpin di sebuah harakah Islamiyah kontemporer mengatakan, “Salah seorang kandidat presiden menawari kami jabatan yang banyak dan besar. Di antaranya adalah kepala pemerintahan, menteri luar negeri, menteri pendidikan dan lain-lain, serta duta besar London, Paris dan Washington. Hingga calon presiden itu berkata kepada pemimpin harakah pada suatu hari, “Anda yang akan menjadi pemimpin sebenarnya, sedangkan saya hanya pemimpin formalitas.”
Pemimpin harakah tersebut dan sebagian kecil dari elit harakah yang memiliki kesadaran menerima tawaran tersebut dan bermaksud membentuk koalisi dengannya. Tetapi majelis syura bersikeras untuk mencalonkan pemimpin harakah sendiri sebagai rival kandidat tersebut, dan prospek menunjukkan kemenangan pemimpin harakah seandainya pemilu berlangsung jujur tanpa ada kecurangan dan penggelapan suara. Tetapi, para elit harakah tidak lebih mengutamakan pemimpin mereka menjadi kepala negara, karena masalah di negara tersebut sangat kompleks dan banyak. Bagi mereka, koalisi lebih baik daripada memimpin sendiri. Tetapi majelis syura tidak memahami hal itu. Emosi dan fanatisme terhadap harakah mendorong mereka untuk mencalonkan pemimpin harakah untuk menjadi kepala negara. Semua orang yang berkecimpung dalam harakah Islamiyah di dunia manapun tidak melihat kebenaran sikap tersebut.
Di negara manapun, harakah Islamiyah lebih memilih untuk berkoalisi. Ketika saya bertanya kepada rekan tersebut, “Mengapa majelis syura bersikeras pada keputusan yang mengecewakan ini?” Ia menjawab, “Sebenarnya dewan yang lama itu memiliki kapabilitas yang baik, dan mereka memahami strategi ini dengan baik. Sedangkan dewan yang sekarang ini levelnya lebih rendah daripada dewan sebelumnya?” Yang menjadi pertanyaan saya adalah kenapa dewan ini kurang kualitasnya dibanding dengan dewan sebelumnya? Saya tidak menemukan jawaban selain cacat pemilu dengan sistem demokrasi yang menghasilkan dewan yang sekrang, yaitu ketika dewan dipilih dari basis massa harakah. Maksudnya, para pemilih itu tidak kapabel untuk memilih anggota dewan yang paling sesuai.
Inilah parlemen-parlemen yang ada dalam rezim yang otoriter, dimana penguasa otoriter tersebut ingin menghiasi wajah pemerintahannya dengan demokrasi, sehingga ia melangsungkan pemilu yang telah disetting terlebih dahulu. Yang menang dalam pemilu itu adalah orang yang menginginkan penguasa tunggal untuk menang, karena para pemilih—rakyat awam—tidak mengetahui apa yang mereka lakukan. Seandainya mereka tahu bahwa mereka memberikan kesaksian palsu yang dosanya sebanding dengan menyekutukan Allah, maka mereka pasti akan duduk di rumah saja dan memboikot pemilu yang menggelikan seperti ini.
Karena itu, penulis mengingatkan kepada seluruh harakah Islamiyah di dunia agar tidak taklid buta terhadap demokrasi. Harakah Islamiyah harus mengambil dari demokrasi itu apa yang sesuai dengan agamanya dan meninggalkan apa yang bertentangan dengan agamanya. Di antara hal yang bertentangan dengan Islam—sebagaimana pengetahuan saya—adalah kita meminta umat Islam untuk memberi kesaksian terhadap perkara yang mereka tidak mengetahuinya, kemudian kita menerima kesaksian mereka tentang perkara tersebut! Bagaimana mungkin mereka dapat bersaksi terhadapnya? Bagaimana mungkin kita memintanya dari petani, pekerja dan pelajar yang sibuk dengan masalah-masalah kehidupan sehari-hari, sedangkan kita tidak memberi mereka pendidikan politik yang diperlukan untuk memilih anggota dewan syura atau memilih kepala negara? Sesungguhnya kita telah membebani mereka dengan hal-hal yang tidak sanggup dikerjakannya. Karena itu, mereka memberikan kesaksian palsu yang sebanding dengan menyekutukan Allah. Tiada daya dan upaya kecuali dengan seijin Allah yang Mahatinggi lagi Mahabesar.
Dr. Wahbah az-Zuhaili telah merangkum masalah kesaksian dalam bukunya yang berharga al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (6/556). Ia berkata, “Kata syahadah adalah mashdar (kata jadian) dari kata syahida yang berarti menghadiri. Kata syahadah menurut bahasa berarti berita yang pasti, dan menurut syari‘at berarti menetapkan kebenaran dengan kata ‘bersaksi’ di majelis peradilan. Memberikan kesaksian terkait hak-hak Allah hukumnya wajib. Dan syarat seseorang menanggung kesaksian adalah:
1. Saksi orang yang berakal.
2. Ia bisa melihat pada waktu ia menanggung kesaksian.
3. Melihat sendiri apa yang dipersaksikannya, bukan melalui orang lain. Kecuali untuk kasus yang dibolehkan bersaksi berdasarkan pendengaran dari orang lain dan berita yang tersiar, sesuai sabda Nabi SAW, “Apabila kamu mengetahui seperti matahari, maka bersaksilah. Jika tidak, maka tinggalkanlah.” Pengetahuan yang jelas seperti jelasnya matahari itu tidak bisa diperoleh kecuali dengan melihat kasat mata.
4. Islam. Kesaksian orang kafir terhadap orang Islam tidak diterima. Ulama madzhab Hanafi membolehkan kesaksian di antara sesama ahlu dzimmah. Mayoritas ulama selain ulama madzhab Hambali mengatakan bahwa kesaksian non-muslim terhadap muslim tidak diterima, karena kesaksian itu mengandung arti kewenangan, sedangkan orang kafir tidak memiliki kewenangan atas orang muslim. Dan ulama madzhab Hambali membolehkannya dalam perkasa wasiat saat dalam perjalanan karena daurat apabila tidak ditemukan selain mereka.
5. Adil. Kesaksian orang yang fasiq tidak diterima. Kesaksian waria tidak diterima karena ia fasik. Dan tidak pula kesaksian peratap mayat, penyanyi, pecandu khamer, dan orang suka bermain burung karena perbuatan-perbuatan tersebut mengakibatkan kelalaian. Dan pula orang yang masuk kolam renang tanpa menutup aurat, orang yang makan riba, berjudi, kencing di jalan, atau makan di jalan, serta orang yang suka mencaci sahabat atau tabi‘in.
Adapun kesaksian berdasarkan pendengaran itu hukumnya sah dalam kasus pernikahan, nasab, kematian, persetubuhan seorang laki-laki dengan istrinya dan perwalian qadhi. Saksi boleh bersaksi atas perkara-perkara ini apabila diberitahu orang yang dipercayainya, dan kebolehan ini didasarkan pada istihsan. Karena perkara-perkara ini hanya bisa dilihat oleh orang-orang tertentu. Kesaksian berdasarkan pendengaran menurut Abu Hanifah adalah tersiarnya kabar di tengah masyarakat dan berita tersebut bersifat mutawatir sehingga mencapai derajat pasti. Dan menurut Shahiban (Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan) bahwa kesaksian dimaksud adalah seorang saksi mengabari dua orang laki-laki yang adil atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan meskipun ia tidak melihat atau mendengar sendiri apa yang dipersaksikannya.
Selain cara tersebut, saksi tidak boleh memberi kesaksian terhadap sesuatu yang tidak dilihatnya, karena syahadah (kesaksian) itu diambil dari kata musyahadah yang berarti melihat dengan mata kepala. Dan kesaksian itu harus dengan pengetahuan, sehingga seseorang tidak boleh bersaksi kecuali atas apa yang diketahuinya. Syarat-syarat kesaksian berdasarkan pendengaran menurut ulama madzhab Syafi‘i dan Hambali menurut pendapat yang paling shahih adalah seperti yang dikatakan Abu Hanifah, yaitu mendengar obyek kesaksian dari banyak orang yang dijamin tidak bersekongkol untuk berbohong, dimana diperoleh pengetahuan (maksudnya keyakinan) atau dugaan yang kuat dari berita mereka.

0 comments:

Post a Comment

-
-

Powered By Blogger