Thursday, April 29, 2010

Islam dan Politik

Buku: Dakwah Politik antara Pragmatisme dan Profesionalisme
Penulis: Khalid Ahmad Asy-Syantut
**

Definisi Islam
Islam berarti tunduk, patuh dan menerima apa yang dibawa Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam serta berserah diri kepada Allah dalam perintah dan larangan-Nya yang diturunkan melalui wahyu. Penulis lebih merasa tepat dengan menambahkan kata “sempurna”, sehingga definisinya menjadi: tunduk dan patuh secara sempurna terhadap apa yang dibawa Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam. Hal itu karena


banyak umat Islam yang tidak memiliki pemahaman bahwa politik merupakan bagian dari Islam dan bahwa Islam itu mencakup din (agama) dan dunia, ibadah dan mu‘amalah, individu, masyarakat dan negara. Allah Ta’ala berfirman, “Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (an-Nahl [16]: 89)
Diwayatkan dari Ibnu Mas‘ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Di dalam al-Qur’an ini Allah telah menjelaskan kepada kita setiap ilmu pengetahuan, segala sesuatu, serta apa yang dibutuhkan manusia terkait urusan dunia dan agama mereka, serta terkait kehidupan dunia dan akhirat mereka.”
Jadi, hukum-hukum agama dan duniawi (politik, ekonomi, sosial dan lain-lain) yang dibutuhkan umat Islam dalam kehidupan mereka di dunia itu telah ada di dalam Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya dalam bentuk hukum-hukum fundamental dan dan prinsip-prinsip umum yang fleksibel dan menjangkau setiap ruang dan waktu). Umat Islam tidak menjadi umat yang sempurna kecuali apabila mereka patuh kepada Allah dengan kepatuhan yang sempurna dalam menjalani agama dan dunia mereka; di waktu shalat, saat jual beli, saat senang, saat menikah dan dalam berpolitik. Hal itu agar mereka menjadi sebaik-baik umat yang pernah ditampilkan ke hadapan umat manusia, sebagaimana yang dikehendaki Allah ‘Azza wa Jalla.
Hanya saja, problematika umat Islam pada hari ini adalah pemahaman yang parsial terhadap Islam. Pemahaman mereka yang distorsif ini dicekokkan oleh musuh-musuh mereka dan kaki tangannya yang menginginkan Islam menjadi seperti gereja, tidak memiliki hubungan dengan urusan kehidupan dunia. “Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci.” (ash-Shaff [61]: 8) Banyak umat Islam hari ini yang tidak ingin memahami politik, karena musuh-musuh Islam menanamkan dalam pikirannya bahwa politik adalah kebohongan, muslihat, tipuan dan intrik seperti yang digambarkan Machiavelli.
Apakah Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam mempraktikkan politik? Apakah bel adalah pemimpin yang memenej urusan masyarakat Muslim? Apakah Khulafa Rasyidun mengatur masyarakat Muslim? Apakah ada pemimpin masyarakat selain mereka? Diriwayatkan dari Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda, “Apabila kalian bertiga dalam perjalanan, maka jadikanlah salah seorang dari kalian itu sebagai pemimpin kalian. Dia itulah pemimpin yang ditetapkan Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam sebagai pemimpin.” Apabila demikian ini ketentuannya dalam perjalanan, maka apalagi saat mukim, karena urusan kehidupan pada waktu mukim itu lebih luas dan lebih banyak dan kebutuhan terhadap seorang pemimpin itu lebih kuat daripada dalam perjalanan.
Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang meninggal dunia dalam keadaan tidak memikul suatu bai’at, maka ia mati dalam keadaan jahiliyyah.”
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Maksudnya adalah ia meninggal dunia dalam keadaan memiliki salah satu sifat jahiliyah, yaitu liar dan tidak memiliki imam.” Bai’at ini diberikan kepada khalifah umat Islam—atau yang sama kedudukannya—yang mengatur masyarakat Muslim dan menjalankan urusan mereka.
Imam al-Banna rahimahullah melihat para pemimpin di negara-negara Islam terpengaruh oleh Eropa ketika mereka memisahkan agama dari politik dan pemerintahan. Ia mengingatkan bahaya kesalahan telak yang dilakukan para penguasa ini sehingga mereka menyingkirkan Islam dari politik dan pengelolaan urusan umat. Ia menyatakan bahwa para penguasa dan politisi di negara-negara Islam itu telah menghancurkan sense of Islam di kepala dan pandangan Islami dalam jiwa, dengan keyakinan, pernyataan dan usaha mereka untuk membuat jarak antara arahan agama dan tuntutan-tuntutan politik. Sebagaimana pernyataannya, “Ini adalah awal kelemahan dan kehancuran.” (Lihat kitab Musykilatuna ad-Dakhiliyyah fi Dhau’ al-Islam, hlm. 359 dari kitab ar-Rasa’il)
Imam al-Banna rahimahullah juga menyatakan, “Dapat saya katakan dengan tegas bahwa seorang muslim tidak akan sempurna keislamannya kecuali apabila ia menjadi seorang politisi; jauh pandangannya dalam melihat urusan umatnya, perhatian terhadapnya dan memiliki kepedulian yang tinggi terhadapnya. Seorang muslim dengan keislamannya itu dituntut untuk memerhatikan setiap urusan umatnya.” Al-Banna juga mengatakan, “Kita semua adalah politisi dengan arti kita memerhatikan urusan umat kita dan berusaha untuk menyempurnakan kemerdekaan.” (Risalah ilath-Thullab, hlm. 8)
Siapa saja yang mendalami kehidupakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, maka ia akan mendapati bahwa beliau adalah pemimpin suatu jama‘ah yang komit terhadap perintah-perintahnya dan berjuang di bawah panjinya. Kedudukan Syaikhul Islam adalah sebagai imam bagi mereka. Ia menerapkan batasan-batasan syar‘i semampunya, mengubah kemungkaran dengan tangan dan lisan, mengutus para pembantunya dan dai-dainya ke seluruh penjuru dunia. Ia menjalankan perang seorang pemimpin umum (khalifah) saat tidak ada imam yang bijaksana. Ia menyatakan perang melawan Tartar. Tindakan Syaikhul Islam dalam hal ini merupakan tindakan seorang mursyid (guru spiritual) umat, komando jama‘ah dan imam bagi masyarakat umum. Buku-bukunya juga memuat masalah politik syar‘i dan hisbah dalam Islam. Bukunya yang berjudul Minhaj as-Sunnah berisi pemikiran-pemikirannya tentang membangun persepsi yang bersih terhadap hukum Islam dan pemikiran politiknya (Abdurrahman Abdul Khaliq, Ibnu Taimiyyah wal-‘Amal al-Jama‘ah’I, hlm. 9-19)
Definisi Siyasah (Politik)
Politik atau siyasah menurut Islam berarti mengarahkan umat Islam kepada hal-hal yang mengandung kebaikan bagi mereka di dunia dan akhirat. Al-Mawardi mengatakan, “Urusan publik yang menjadi tanggungjawab imam ada sepuluh. Pertama, menjaga agama agar tetap pada dasar-dasarnya yang ditetapkan dan yang disepakati generasi salaf. Apabila muncul seorang pembuat bid’ah, atau orang yang berlaku syubhat menyimpang dari agama, maka imam berkewajiban menjelaskan argumen kepadanya, menjelaskan yang benar dan menjatuhkan sanksi yang sesuai, agar agama terpelihara dari penyimpangan dan umat terjaga dari kesesatan. Kedua, membuat keputusan di antara pihak-pihak yang bersengketa. Ketiga, menjaga keturunan agar tidak bercampur baur nasabnya. Keempat, menerapkan hukum pidana Islam agar terjaga perkara-perkara yang dimuliakan Allah. Kelima, menjaga celah teritorial dengan peralatan perang dan kekuatan militer. Keenam, jihad terhadap orang yang menentang Islam sesudah dilakukan upaya dakwah. Ketujuh, mengumpulkan dan mendistribusikan harta pampasan perang dan sedekah. Kedelapan, membuat anggaran belaja dari baitul mal. Kesembilan, melimpahkan kewenangan kepada orang-orang yang amanah. Kesepuluh, bertindak sendiri dalam melakukan pengawasan terhadap situasi dan kondisi, tidak mengandalkan orang yang diberinya mandat, lantaran sibuk dengan kenikmatan duniawi atau ibadah (15).”
Siyasah berarti berusaha memperbaiki kondisi manusia dengan mengarahkan mereka kepada jalan yang menyelamatkan di dunia dan akhirat.
Al-Fanjari (58) mengatakan bahwa arti siyasah yang sebenarnya adalah sabda Rasulullah SAW, “Dan masing-masing dari kalian dimintai pertanggungjawaban atas orang yang dipimpinnya.” Siyasah Islamiyyah berarti menuntun masyarakat Muslim supaya Allah saja yang dipatuhi. Siyasah dalam Islam memiliki tujuan-tujuan global, di antaranya adalah:
1. Agar umat manusia hanya menyembah satu Tuhan. “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (adz-Dzariyat [51]: 56)
2. Agar prinsip amar ma’ruf dan nahi munkar itu menyentuh semua manusia. “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (Ali Imran [3]: 110)
3. Menyampaikan dakwah Islam kepada seluruh manusia. “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia.” (al-Baqarah [2]: 143)
4. Agar segala bentuk fitnah (konflik) hilang dari muka bumi. “Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah.” (al-Anfal [8]: 39)

0 comments:

Post a Comment

-
-

Powered By Blogger