A. Harta itu milik Allah (Al Maalu Lillah) المال للّه
dakwatuna.com – Allah SWT adalah Dzat yang memberikan jaminan rezki kepada kita, ini menunjukkan bahwasanya Allah pun berhak mengatur peruntukan rezki yang ada pada kita. Manusia yang tidak menyadari akan hal ini menganggap bahwasanya rezki itu adalah hasil kerja kerasnya sendiri tanpa ada campur tangan Allah SWT. Perilaku ini digambarkan oleh Allah SWT ketika menceritakan tentang kepicikan Karun. Allah berfirman:
قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِي أَوَلَمْ يَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَهْلَكَ مِنْ قَبْلِهِ مِنَ الْقُرُونِ مَنْ هُوَ
أَشَدُّ مِنْهُ قُوَّةً وَأَكْثَرُ جَمْعًا وَلَا يُسْأَلُ عَنْ ذُنُوبِهِمُ الْمُجْرِمُونَKarun berkata, “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku”. Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka.” (QS. Al-Qashash: 78)
Tuntutan yang dikehendaki Allah terkait dengan harta kita adalah dalam bentuk Infaq di jalan Allah SWT untuk menegakkan agama-Nya di muka bumi ini.
Dari Abu Hurairah ra. katanya, Rasulullah saw bersabda: ”Kelak bumi akan memuntahkan jantung hatinya berupa tiang-tiang emas dan perak. Maka datanglah seorang pembunuh seraya berkata: ”Karena inilah aku jadi pembunuh. Kemudian datang pula si perompak, lalu berkata: ”Karena inilah aku putuskan hubungan silaturrahim. Kemudian datang pula si pencuri seraya berkata: ”Karena inilah tanganku dipotong” Sesudah itu mereka tinggalkan saja harta kekayaan itu, tiada mereka mengambilnya sedikitpun.” (Muslim)
Pada dasarnya semua manusia menyenangi kekayaan dan harta benda. Kadangkala karena mengejar harta, didominasi hawa nafsu dan bisikan syaitan malah ada manusia yang sampai rela berbunuh-bunuhan, merampok, korupsi bahkan memutuskan silaturrahim. Dunia dicipta sebagai ujian buat manusia, siapakah yang paling bertaqwa. Sesungguhnya harta dunia tidak akan membawa arti apa-apa jika tidak dimanfaatkan ke jalan yang diridhai Allah.
Hakikat harta diterangkan Rasulullah saw seperti sabdanya yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah:
“Seorang hamba (manusia) berkata, ‘Hartaku, hartaku!’ Padahal hartanya itu sesungguhnya ada 3 jenis: (1) Apa yang dimakannya lalu habis. (2) Apa yang dipakainya lalu lusuh. (3) Apa yang disedekahnya lalu tersimpan untuk akhirat. Selain yang 3 itu, semuanya akan lenyap atau ditinggalkan kepada orang lain”. (Muslim)
Harta pada dasarnya bersifat netral. Ia tidak mulia atau hina, baik atau buruk. Ia lebih sebagai ujian bagi sifat dasar manusia terhadap Allah SWT. Dengan harta itu, mampukah ia menjadi hamba yang lebih dekat kepada−Nya, atau justru menjadi budak harta yang terlena dan terpedaya olehnya. Pendek kata, ia merupakan cobaan bagi keimanan dan ketaatan hamba kepada Sang Pencipta. Firman Allah SWT:
إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
”Sesungguhnya hartamu dan anak−anakmu hanyalah cobaan (bagimu). Di sisi Allahlah pahala yang besar.” (QS. At−Taghabun: 15).Ayat di atas tidak hanya memastikan bahwa harta adalah ujian, namun juga menunjukkan sesungguhnya harta juga jenis kenikmatan duniawi lainnya seberapa pun besarnya, tidak memiliki nilai sama sekali di hadapan Allah. Sebanyak apa pun harta yang dimiliki seseorang, ia tetap kecil di hadapan Allah dan tidak kekal. Tapi, yang bernilai adalah ketika harta itu bisa difungsikan dengan tepat, sesuai dengan yang Allah amanahkan. Jika demikian, maka pahala di sisi Allahlah yang menjadi balasannya.
قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقَى وَلَا تُظْلَمُونَ فَتِيلًا
“Katakanlah: Kesenangan di dunia ini hanya sebentar (sementara). Dan, akhirat itu lebih baik untuk orang−orang yang bertaqwa dan kamu tidak akan dianiaya sedikit pun.” (QS. An−Nisaa’: 77).Begitulah Allah SWT menjelaskan hakikat harta dan segala kenikmatan dunia lainnya. Sebagai ujian, ia ditimpakan kepada siapa saja, lintas strata, dan tanpa pandang bulu: orang kaya, orang miskin, cendekiawan, pejabat, dan bahkan agamawan. Masing−masing diuji dengan harta yang ada pada mereka.
Kesadaran memahami kehidupan dunia sebagai ujian semacam ini perlu dibangun agar harta tidak membutakan mata hati dan memalingkan manusia dari Allah SWT.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
”Hai orang−orang yang beriman, jangan sampai harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikanmu dari Allah. Siapa yang terlalaikan oleh harta dan anak, maka mereka itulah orang−orang yang rugi.” (QS. Al−Munafiqun: 9).Karena itu, sikap terbaik dalam menjalani hidup adalah berperilaku zuhud. Zuhud adalah sikap di mana kita tidak merasa bangga, buta hati, dan terpedaya dengan harta dan segala kenikmatan dunia. Sebaliknya, kita juga tidak merasa kehilangan dan berduka ketika segala kenikmatan tersebut dicabut dari kita. Allah berfirman:
لِكَيْ لَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا ءَاتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
”Supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan−Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Al-Hadid: 23).Orang yang bersikap zuhud niscaya akan selalu tenang menjalani hidup dan selalu merasa cukup dan puas dengan apa yang ada pada dirinya. Ia tidak sombong dan terlena dengan harta karena menyadari betul ia hanyalah amanah dari Allah untuk dipergunakan dengan tepat.
Seorang sufi menyatakan, ”Kekayaan itu adalah kepuasan.” Yakni, puas dengan apa yang ada pada kita. Suburnya korupsi di negeri ini, antara lain, karena banyak dari kita yang rakus, tidak amanah, dan telah diperbudak oleh harta. Orang yang demikian tidak akan ada puasnya. Sebab, ia sudah dikendalikan oleh harta dan bukan dia yang mengendalikan harta.
Oleh: Tim Kajian Manhaj Tarbiyah/dakwatunadotcom- Bersambung…
0 comments:
Post a Comment