Oleh: Anis Matta
Jika kita hanya membaca biografi pahlawan, atau mendengar cerita kepahlawanan dari seseorang yang belum pernah kita lihat, barangkali imajinasi yang tersusun dalam benak kita tentang pahlawan itu akan berbeda dengan kenyataannya. Itu berlaku untuk lukisan fisiknya, juga untuk lukisan emosionalnya.
Abu hasan Ali Al-Halani Al-Nadwi, yang tinggal di anak benua India, telah membaca tulisan-tulisan Sayyid Quthub, yang tinggal di Mesir. Tulisan-tulisannya memuat gagasan-gagasan yang kuat, solid, atraktif, berani dan terasa sangat keras. Barangkali bukan merupakan suatu kesalahan apabila dengan tanpa alasan kita membuat korelasi antara tulisan-tulisan itu dengan postur tubuh Sayyid Quthub. Penulisnya, seperti juga tulisannya, pastilah seorang laki-laki bertubuh kekar, tinggi dan besar. Itulah kesan yang terbentuk dalam benak Al Nadwi. Tapi ketika ia berkunjung ke Mesir, ternyata ia menemukan seorang laki-laki dengan perawakan yang kurus, ceking dan jelas tidak kekar.
Begitu juga dengan potret emosi seorang pahlawan. Kadang-kadang ketegaran dan keberanian para pahlawan membuat kita berpikir bahwa mereka sama sekali tidak mempunyai sisi-sisi lain dalam dirinya, yang lebih mirip dengan sisi-sisi kepribadian orang-orang biasa. Misalnya, kebutuhan akan kemanjaan.
Umar bin khattab mengajar sesuatu yang lain ketika beliau mengatakan: “jadilah engkau seperti seorang bocah didepan istrimu”. Laki-laki dengan postur tubuh yang tinggi, besar, putih dan botak itu yang dikenal keras, tegas, berani dan tegar, ternyata senang bersikap manja didepan istrinya. Mungkin bukan cuma Umar. Sebab Rasulullah SAW, ternyata juga melakukan hal yang sama. Adalah Khadijah tempat ia kembali saat kecemasan dan ketakutan melandanya setelah menerima wahyu pertama. Maka kebesaran jiwa Khadijah yang senantiasa beliau kenang dan yang memberikan tempat paling istimewa bagi perempuan itu dalam hatinya, bahkan setelah beliau menikahi seorang Aisyah. Tapi beliau juga sering berbaring dalam pangkuan Aisyah untuk disisiri rambutnya, bahkan ketika beliau sedang i’tikaf dibulan Ramadhan.
Itu mengajarkan kita sebuah kaidah, bahwa para pahlawan mukmin sejati telah menggunakan segenap energi jiwanya untuk dapat mengukir legenda kepahlawanannya. Tapi untuk itu mereka membutuhkan suplai energi kembali. Dan untuk sebagiannya, itu berasal dari kelembutan dan kebesaran jiwa sang istri.
Kemanjaan itu, dengan begitu, barangkali memang merupakan cara para pahlawan tersebut memenuhi kebutuhan jiwa mereka akan ketegaran, keberanian, ketegasan dan kerja-kerja emosi lainnya.
Kepahlawanan membutuhkan energi jiwa yang dasyat, maka para pahlwan harus mengetahui dari mana mereka mendapatkan sumber energi itu. Petuah ini agaknya tidak pernah salah : “Dibalik setiap laki-laki agung, selalu berdiri wanita agung” dan mengertilah kita, mengapa sastrawan besar besar Mesir ini, Musthafa Shadiq Al Rafii, mengatakan “kekuatan seorang wanita sesungguhnya tersimpan dibalik kelemahannya”.**
Jika kita hanya membaca biografi pahlawan, atau mendengar cerita kepahlawanan dari seseorang yang belum pernah kita lihat, barangkali imajinasi yang tersusun dalam benak kita tentang pahlawan itu akan berbeda dengan kenyataannya. Itu berlaku untuk lukisan fisiknya, juga untuk lukisan emosionalnya.
Abu hasan Ali Al-Halani Al-Nadwi, yang tinggal di anak benua India, telah membaca tulisan-tulisan Sayyid Quthub, yang tinggal di Mesir. Tulisan-tulisannya memuat gagasan-gagasan yang kuat, solid, atraktif, berani dan terasa sangat keras. Barangkali bukan merupakan suatu kesalahan apabila dengan tanpa alasan kita membuat korelasi antara tulisan-tulisan itu dengan postur tubuh Sayyid Quthub. Penulisnya, seperti juga tulisannya, pastilah seorang laki-laki bertubuh kekar, tinggi dan besar. Itulah kesan yang terbentuk dalam benak Al Nadwi. Tapi ketika ia berkunjung ke Mesir, ternyata ia menemukan seorang laki-laki dengan perawakan yang kurus, ceking dan jelas tidak kekar.
Begitu juga dengan potret emosi seorang pahlawan. Kadang-kadang ketegaran dan keberanian para pahlawan membuat kita berpikir bahwa mereka sama sekali tidak mempunyai sisi-sisi lain dalam dirinya, yang lebih mirip dengan sisi-sisi kepribadian orang-orang biasa. Misalnya, kebutuhan akan kemanjaan.
Umar bin khattab mengajar sesuatu yang lain ketika beliau mengatakan: “jadilah engkau seperti seorang bocah didepan istrimu”. Laki-laki dengan postur tubuh yang tinggi, besar, putih dan botak itu yang dikenal keras, tegas, berani dan tegar, ternyata senang bersikap manja didepan istrinya. Mungkin bukan cuma Umar. Sebab Rasulullah SAW, ternyata juga melakukan hal yang sama. Adalah Khadijah tempat ia kembali saat kecemasan dan ketakutan melandanya setelah menerima wahyu pertama. Maka kebesaran jiwa Khadijah yang senantiasa beliau kenang dan yang memberikan tempat paling istimewa bagi perempuan itu dalam hatinya, bahkan setelah beliau menikahi seorang Aisyah. Tapi beliau juga sering berbaring dalam pangkuan Aisyah untuk disisiri rambutnya, bahkan ketika beliau sedang i’tikaf dibulan Ramadhan.
Itu mengajarkan kita sebuah kaidah, bahwa para pahlawan mukmin sejati telah menggunakan segenap energi jiwanya untuk dapat mengukir legenda kepahlawanannya. Tapi untuk itu mereka membutuhkan suplai energi kembali. Dan untuk sebagiannya, itu berasal dari kelembutan dan kebesaran jiwa sang istri.
Kemanjaan itu, dengan begitu, barangkali memang merupakan cara para pahlawan tersebut memenuhi kebutuhan jiwa mereka akan ketegaran, keberanian, ketegasan dan kerja-kerja emosi lainnya.
Kepahlawanan membutuhkan energi jiwa yang dasyat, maka para pahlwan harus mengetahui dari mana mereka mendapatkan sumber energi itu. Petuah ini agaknya tidak pernah salah : “Dibalik setiap laki-laki agung, selalu berdiri wanita agung” dan mengertilah kita, mengapa sastrawan besar besar Mesir ini, Musthafa Shadiq Al Rafii, mengatakan “kekuatan seorang wanita sesungguhnya tersimpan dibalik kelemahannya”.**
0 comments:
Post a Comment