REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Momentum pergantian tahun Hijriah selalu mengingatkan umat Islam pada peristiwa hijrah Rasulullah SAW dan para sahabat dari Makkah ke Madinah. Peristiwa maha penting dalam sirah Rasulullah itulah yang menjadi dasar pijakan di balik pemilihan nama kalender Islam tersebut.
Tentu bukan tanpa alasan Amirul Mukminin Umar bin Al-Khathab menetapkan peristiwa hijrah sebagai dasar perhitungan tahun dalam kalender kaum Muslimin. Hijrah berarti berpindah dengan meninggalkan suatu tempat menuju tempat yang lain, atau berubah dengan meninggalkan suatu kondisi untuk menuju kondisi yang lain. Dalam Islam, hijrah memang ada dua macam.
Pertama, hijrah hissiyyah (hijrah fisik dengan berpindah tempat), dari darul khauf (negeri yang tidak aman dan tidak kondusif) menuju darul amn (negeri yang relatif aman dan kondusif), seperti hijrah dari Kota Makkah ke Habasyah (Ethiopia) dan dari Makkah ke Madinah.
Kedua, hijrah ma'nawiyyah (hijrah nilai). Yakni, dengan meninggalkan nilai-nilai atau kondisi-kondisi jahiliah untuk berubah menuju nilai-nilai atau kondisi-kondisi Islami, seperti dalam aspek akidah, ibadah, akhlak, pemikiran dan pola pikir, muamalah, pergaulan, cara hidup, kehidupan berkeluarga, etos kerja, manajemen diri, manajemen waktu, manajemen dakwah, perjuangan, pengorbanan, serta aspek-aspek diri dan kehidupan lainnya sesuai dengan tuntutan keimanan dan konsekuensi keislaman.
Jika hijrah hissiyyah bersifat kondisional dan situasional serta harus sesuai dengan syarat-syarat tertentu, hijrah ma'nawiyyah bersifat mutlak dan permanen, serta sekaligus merupakan syarat dan landasan bagi pelaksanaan hijrah hissiyyah.
Hijrah ma'nawiyyah inilah yang sebenarnya merupakan hakikat dan esensi dari perintah hijrah itu. Kuncinya ada pada kata perubahan! Ya, ketika seseorang telah berikrar syahadat dan menyatakan diri telah beriman dan berislam, ia harus langsung ber-hijrah ma'nawiyyah ke arah perubahan total--tentu tetap mengikuti prinsip tadarruj (pentahapan)--sesuai shibghah rabbaniyah (lihat QS Al-Baqarah [2]: 138) dan memenuhi tuntutan berislam secara kaffah (lihat QS Al-Baqarah [2]: 208).
Guna menyambut--dan bukan memperingati--tahun baru 1432 Hijriah, kita harus melakukan muhasabah dan introspeksi diri dengan bertanya, sejauh mana perubahan, peningkatan dan perbaikan Islami telah terjadi dalam diri dan kehidupan kita, baik dalam skala individu, kelompok, jamaah, masyarakat, bangsa, maupun dalam skala umat Islam secara keseluruhan?
Marilah kita jadikan momentum pergantian tahun Hijriah ini sebagai faktor pemotivasi semangat dan pembaru tekad untuk senantiasa menghijrahkan diri dan kehidupan menuju totalitas Islam sebagai syarat dan dasar dalam mengemban amanah dakwah dan menegakkan kewajiban jihad fi sabilillah untuk memenangkan dinullah dan menggapai surga serta ridha Allah.
Tentu bukan tanpa alasan Amirul Mukminin Umar bin Al-Khathab menetapkan peristiwa hijrah sebagai dasar perhitungan tahun dalam kalender kaum Muslimin. Hijrah berarti berpindah dengan meninggalkan suatu tempat menuju tempat yang lain, atau berubah dengan meninggalkan suatu kondisi untuk menuju kondisi yang lain. Dalam Islam, hijrah memang ada dua macam.
Pertama, hijrah hissiyyah (hijrah fisik dengan berpindah tempat), dari darul khauf (negeri yang tidak aman dan tidak kondusif) menuju darul amn (negeri yang relatif aman dan kondusif), seperti hijrah dari Kota Makkah ke Habasyah (Ethiopia) dan dari Makkah ke Madinah.
Kedua, hijrah ma'nawiyyah (hijrah nilai). Yakni, dengan meninggalkan nilai-nilai atau kondisi-kondisi jahiliah untuk berubah menuju nilai-nilai atau kondisi-kondisi Islami, seperti dalam aspek akidah, ibadah, akhlak, pemikiran dan pola pikir, muamalah, pergaulan, cara hidup, kehidupan berkeluarga, etos kerja, manajemen diri, manajemen waktu, manajemen dakwah, perjuangan, pengorbanan, serta aspek-aspek diri dan kehidupan lainnya sesuai dengan tuntutan keimanan dan konsekuensi keislaman.
Jika hijrah hissiyyah bersifat kondisional dan situasional serta harus sesuai dengan syarat-syarat tertentu, hijrah ma'nawiyyah bersifat mutlak dan permanen, serta sekaligus merupakan syarat dan landasan bagi pelaksanaan hijrah hissiyyah.
Hijrah ma'nawiyyah inilah yang sebenarnya merupakan hakikat dan esensi dari perintah hijrah itu. Kuncinya ada pada kata perubahan! Ya, ketika seseorang telah berikrar syahadat dan menyatakan diri telah beriman dan berislam, ia harus langsung ber-hijrah ma'nawiyyah ke arah perubahan total--tentu tetap mengikuti prinsip tadarruj (pentahapan)--sesuai shibghah rabbaniyah (lihat QS Al-Baqarah [2]: 138) dan memenuhi tuntutan berislam secara kaffah (lihat QS Al-Baqarah [2]: 208).
Guna menyambut--dan bukan memperingati--tahun baru 1432 Hijriah, kita harus melakukan muhasabah dan introspeksi diri dengan bertanya, sejauh mana perubahan, peningkatan dan perbaikan Islami telah terjadi dalam diri dan kehidupan kita, baik dalam skala individu, kelompok, jamaah, masyarakat, bangsa, maupun dalam skala umat Islam secara keseluruhan?
Marilah kita jadikan momentum pergantian tahun Hijriah ini sebagai faktor pemotivasi semangat dan pembaru tekad untuk senantiasa menghijrahkan diri dan kehidupan menuju totalitas Islam sebagai syarat dan dasar dalam mengemban amanah dakwah dan menegakkan kewajiban jihad fi sabilillah untuk memenangkan dinullah dan menggapai surga serta ridha Allah.
0 comments:
Post a Comment