Walaupun satu keluarga
Kami tak saling mengenal
Himpunlah daun-daun yang berhamburan ini
Hidupkan lagi ajaran saling mencintai
Ajari lagi kami berkhidmat seperti dulu
Itulah beberapa bait dari sajak doa Iqbal. Mungkin batinnya menjerit pada kesaksiannya atas zamannya; umat ini seperti daun-daun yang berhamburan. Seperti daun-daun yang gugur diterpa angin, tak ada lagi kekuatan yang dapat menghimpunnya kembali, menatanya seperti ketika ia masih menggayut pada pohonnya.
Begitulah kenyataan umat ini; mungkin banyak orang shalih diantara mereka, tapi semuanya seperti daun-daun yang berhamburan, tidak terhimpun dalam sebuah wadah yang bernama jama’ah. Mungkin banyak orang hebat di antara mereka, tapi kehebatan mereka hilang diterpa angin zaman. Mungkin banyak potensi yang tersimpan pada individu-individu di antara mereka, tapi semuanya berserakan di sana sini, tak terhimpun.
Maka, jama’ah adalah alat yang diberikan Islam bagi umatnya untuk menghimpun daun-daun yang berhamburan itu, supaya kekuatan setiap orang shalih, orang hebat atau satu potensi bertemu padu dengan kekuatan saudaranya yang lain, yang sama shalihnya, yang sama hebatnya, yang sama potensialnya.
Jama’ah juga merupakan cara yang paling tepat untuk menyederhanakan perbedaan-perbedaan pada individu. Di dalam satu jama’ah, individu-individu yang mempunyai kemiripan disatukan dalam sebuah simpul. Maka, meskipun ada banyak jama’ah, itu tetap lebih baik daripada tidak ada sama sekali. Bagaimanapun, jauh lebih mudah memetakan orang banyak melalui pengelompokan atau simpul-simpulnya, ketimbang harus memetakan mereka sebagai individu.
Maka, jalan panjang menuju kebangkitan kembali umat ini, harus dimulai dari menghimpun daun-daun yang berhamburan itu, merajut kembali jalinan cinta di antara mereka, menyatukan potensi dan kekuatan mereka, kemudian meledakkannya pada momentum sejarahnya, menjadi pohon peradaban yang teduh, yang menaungi kemanusiaan.
Tapi, itulah masalahnya. Ternyata, itu bukan pekerjaan yang mudah; ternyata, cinta tidak mudah ditumbuhkan di antara mereka; ternyata, orang shalih tidak mudah disatukan; ternyata, orang hebat tidak selalu bersedia menyatu dengan orang hebat yang lain. Mungkin itu sebabnya, ada ungkapan di kalangan gangster mafia: seorang prajurit yang bodoh, kadang-kadang lebih berguna dari pada dua orang jenderal yang hebat.
Namun, tidak ada jalan lain. Nabi umat ini tidak akan pernah memaafkan setiap orang di antara kita yang meninggalkan jama’ah, semata-mata karena ia tidak menemukan kecocokan bersama orang lain dalam jama’ahnya. Bagaimanapun, kekeruhan jama’ah, kata Imam Ali bin Abi Thalib r.a., jauh lebih baik daripada kejernihan individu.
Kami tak saling mengenal
Himpunlah daun-daun yang berhamburan ini
Hidupkan lagi ajaran saling mencintai
Ajari lagi kami berkhidmat seperti dulu
Itulah beberapa bait dari sajak doa Iqbal. Mungkin batinnya menjerit pada kesaksiannya atas zamannya; umat ini seperti daun-daun yang berhamburan. Seperti daun-daun yang gugur diterpa angin, tak ada lagi kekuatan yang dapat menghimpunnya kembali, menatanya seperti ketika ia masih menggayut pada pohonnya.
Begitulah kenyataan umat ini; mungkin banyak orang shalih diantara mereka, tapi semuanya seperti daun-daun yang berhamburan, tidak terhimpun dalam sebuah wadah yang bernama jama’ah. Mungkin banyak orang hebat di antara mereka, tapi kehebatan mereka hilang diterpa angin zaman. Mungkin banyak potensi yang tersimpan pada individu-individu di antara mereka, tapi semuanya berserakan di sana sini, tak terhimpun.
Maka, jama’ah adalah alat yang diberikan Islam bagi umatnya untuk menghimpun daun-daun yang berhamburan itu, supaya kekuatan setiap orang shalih, orang hebat atau satu potensi bertemu padu dengan kekuatan saudaranya yang lain, yang sama shalihnya, yang sama hebatnya, yang sama potensialnya.
Jama’ah juga merupakan cara yang paling tepat untuk menyederhanakan perbedaan-perbedaan pada individu. Di dalam satu jama’ah, individu-individu yang mempunyai kemiripan disatukan dalam sebuah simpul. Maka, meskipun ada banyak jama’ah, itu tetap lebih baik daripada tidak ada sama sekali. Bagaimanapun, jauh lebih mudah memetakan orang banyak melalui pengelompokan atau simpul-simpulnya, ketimbang harus memetakan mereka sebagai individu.
Maka, jalan panjang menuju kebangkitan kembali umat ini, harus dimulai dari menghimpun daun-daun yang berhamburan itu, merajut kembali jalinan cinta di antara mereka, menyatukan potensi dan kekuatan mereka, kemudian meledakkannya pada momentum sejarahnya, menjadi pohon peradaban yang teduh, yang menaungi kemanusiaan.
Tapi, itulah masalahnya. Ternyata, itu bukan pekerjaan yang mudah; ternyata, cinta tidak mudah ditumbuhkan di antara mereka; ternyata, orang shalih tidak mudah disatukan; ternyata, orang hebat tidak selalu bersedia menyatu dengan orang hebat yang lain. Mungkin itu sebabnya, ada ungkapan di kalangan gangster mafia: seorang prajurit yang bodoh, kadang-kadang lebih berguna dari pada dua orang jenderal yang hebat.
Namun, tidak ada jalan lain. Nabi umat ini tidak akan pernah memaafkan setiap orang di antara kita yang meninggalkan jama’ah, semata-mata karena ia tidak menemukan kecocokan bersama orang lain dalam jama’ahnya. Bagaimanapun, kekeruhan jama’ah, kata Imam Ali bin Abi Thalib r.a., jauh lebih baik daripada kejernihan individu.
0 comments:
Post a Comment